Bismillahirrohmaanirrohiim

ISLAM WETU TELU DI BAYAN LOMBOK: DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA LOKAL


Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi

Prolog    
Sebelum Islam datang ke Nusantara berbagai macam adat kuno dan kepercayaan lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal sosial. Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama yang beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu-Budha.

Alih-alih membersihkan sepenuhnya anasir non-Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada akhirnya disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam Abangan di Jawa, dan Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan kepercayaan lokal yang mengandung anasir non-Islami.

Di pulau Jawa, Lombok dan wilayah lain,  Islam sarat diwarnai oleh kebudayaan asli setempat “…Islam, dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh kepulauan Indonesia sebagai sebuah agama tradisional rakyat. Dimana-mana Islam disatukan dengan kepercayaan lokal”.  Di samping itu juga tidak terlalu mengejutkan mendapati bahwa mayoritas orang Islam nominal memandang Islam secara sempit sebagai syãhadat, berpantang makan daging babi, dan minum alkohol serta berkhitan bagi kaum prianya.

Perbedaan perspektif dan pemahaman dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam, serta akomodasi agama ini ke dalam struktur lokal yang spesifik telah menyumbang pluralitas dan parokialitas Islam di Indonesia.

Bedasarkan elaborasi di atas terlihat bahwa terdapat pluralitas ekspresi keberagamaan di Indonesia. Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu  dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima dikatagorikan agama samãwi. Klasifikasi ini bukan merupakan suatu yang terpisah satu sama lain. Kedua katagori ini bisa saling tumpang tindih, di mana sebuah katagori memiliki karakteristik tertentu yang juga bisa dipunyai katagori lain, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, agama tradisional memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktek-praktek tertentu hingga pada batas-batas tertentu juga bisa ditemukan dalam agama samãwi. Begitu juga halnya dengan agama samãwi bisa mengandung sesuatu yang ternyata lebih parokial.

Identifikasi Wetu Telu  yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang, bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya.  
Islam Wetu Telu: Kepercayaan dan Ritus Keberagamaan

Penelitian sosioligis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak terdapat tiga kelompok keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut sebagai agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya.  Menurut Erni Budiwanti, agama Boda ditandai oleh animisme  dan panteisme . Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek Sasak Boda.

Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih ditemukan pada awal abad ke-20, tinggal di bagian utara Gunung Rinjani [Kecamatan Bayan dan Tanjung] dan di beberapa desa di sebelah selatan Gunung Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.

Sementara penganut Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek moyang mereka.  Dalam ajaran  Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat sinkretik.

Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu  dalam makna yang sama dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, sebagaimana trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga [Wetu Telu] dan Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya.  

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam  bahasa Sasak, misalnya: Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji [bersaksi] bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.

Selanjutnya ia mensinyalir bahwa lahirnya istilah Islam Wetu Telu ini berasal dari zaman penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera  untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima.

Bagi komunitas Wetu Telu di Bayan , salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu,  paling tidak ada empat konsepsi mengenai Wetu Telu. Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing tokoh yang diwawancarai mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh Wetu Telu lainnya.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu  berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul [metu] melalui tiga macam sistem reproduksi : 1] melahirkan [menganak], seperti manusia dan mamalia; 2] bertelur [menteluk], seperti burung; dan 3] berkembang biak dari benih atau buah [mentiuk], seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus kepercayaan Wetu Telu  tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.  

Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.

Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati [mate].
Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.

Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa.

Sehubungan dengan kepercayaan ini,  penganut Wetu Telu mengadakan ritual-ritual yang terkait dengan siklus tersebut. Adapun ritual-ritual [upacara] yang terkait dengan kehidupan dinamakan gawe urip, yang mencakup seluruh tahapan hidup manusia semenjak dilahirkan hingga menikah. Yang termasuk dalam gawe urip, antara lain:

1. Buang Au [Upacara Kelahiran], merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar dukun beranak [belian] setelah membantu persalinan. Upacara ini dilaksanakan kira-kira satu minggu setelah melahirkan. Pada saat itu pula orang tua mengumumkan nama anaknya setelah berkonsultasi dengan pemangku atau kyai mengenai nama yang cocok untuk anaknya.

2. Ngurisang (Pemotongan Rambut), merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan setelah buang au. Upacara ini diadakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang dianggap penting karena setelah ini anak yang menjalaninya disebut selam [Muslim] sebagai lawan dari Boda, artinya orang yang belum di-Islam-kan.

3. Ngitanang [Khitanan], yang dilakukan saat anak berusia antara 3 hingga 10 tahun. Seperti buang au dan ngurisang, ngitanang juga dipandang sebagai simbol peng-Islam-an. Seorang anak masih tetap Boda sampai ia dikhitan.

4. Merosok [Meratakan Gigi], merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kyai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.

5. Merari/Mulang [“mencuri” Gadis] dan Metikah [Perkawinan]
Sedangkan ritual-ritual yang dilaksanakan berkaitan dengan kematian disebut gawe pati [ritual kematian dan pasca kematian]. Upacara ini dilaksanakan mulai dari hari penguburan [nusur tanah], hari ketiga [nelung], hari ketujuh [mituk], hari kesembilan [nyiwak], hari keempat puluh [matang puluh], keseratus [nyatus] hingga hari keseribu [nyiu].

Upacara-upacara ini bertujuan untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur. Hal ini terkait erat dengan persepsi penganut Wetu Telu bahwa kematian adalah suatu tahap untuk menjamin tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran [lingkaran leluhur] dan ritual-ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini. Melalui do’a yang dibaca pada saat upacara diyakini bahwa arwah si mati dipertemukan dengan para leluhurnya.
Dari keempat konsep yang saling mengkait dan merupakan satu kesatuan di atas, warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu Telu. Warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti :  

1. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa [Ramadlan]. Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan  Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.

Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.

2. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.

Sedangkan Maleman Likuran  merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman likuran.

3. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi

Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati.

Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.

4. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.

5. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.

6. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur puteq dan bubur abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq [bubur putih] dan bubur abang [bubur merah] merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.

7.Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.

Sedangkan kepercayaan lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu [penjaga]. Roh leluhur dianggap penting dalam kepercayaan Wetu Telu, sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat ini memiliki keterkaitan dengan serta kewajiban atas mereka yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara, apapun namanya, selalu diawali dengan upacara pembersihan makam dan meletakkan benda-benda untuk diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara dilaksanakan. Ini dimaksudkan untuk meminta izin sekaligus memberitahu para leluhurnya bahwa mereka mengadakan suatu upacara.  
Dialektika Tradisi Islam Normatif dan Islam Kultural         

Islam sebagai sebuah sistem tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal yang masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti [core element] di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan [peripheral element] disisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari agama Islam yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata jika tampak ke wilayah permukaan.

Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-rubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tataran praksis  komunitas umatnya, maka warna Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk sebuah peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektiaka sejarah yang berbeda-beda namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.

Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi kepercayaan [belief] yang berupa tauhid dan diimplementasikan ke dalam dimensi praksis yang meliputi ritual, budaya dan tradisi dan tradisi keislaman lainnya.

Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, “Islam normatif” atau, istilah Richard C. Martin, “Islam formal”yang ketentuannya tertuang secara ekplisit didalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praksis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara “Islam formal” dan budaya lokal Muslim tertentu.

Dalam mengkaji Islam beserta makna derivasinya, paling tidak ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu Pendekatan teksual dan pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual menekankan pada signifikansi teks-teks sebgai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci [pristine source] dalam Islam, terutama al-Qur’an dan al-Hadits. Pendekatan ini sangat penting untuk melihat realitas Islam normatif yang tertulis baik secara eksplisit maupun implisit.    
Fenomena ritual keagamaan yang banyak bercampur dengan tradisi lokal tidak dapat disangkal lagi, kepercayaan dan ritual sinkretik atau abangan sangat banyak ragamnya. Banyak peneliti Islam Indonesia, yang memberikan keterangan tentang Islam yang begitu berbeda dengan karakter Islam Arab.

Fenomena ini juga diamini oleh Martin van Bruinessen, dengan menunjukkan bukti bahwa banyak praktek yang dikatagorikan Islam abangan juga ditemukan di belahan lain dunia Islam. Ia membandingkan deskripsi Geertz tentang agama abangan dengan pengamatan-pengamatan pada kehidupan sehari-hari kaum petani Mesir, pada awal abad ke-19, yang dilakukan oleh studi klasik lain, karya Lane: Manners and Customs of the Modern Egyptians [Perilaku dan Kebiasaan Orang-orang Mesir Modern]. Beberapa praktek kurang islami yang terlihat dalam perilaku keagamaan orang Jawa, telah dikenal juga oleh orang-orang Mesir.

Di samping itu banyak praktek magic yang bersumber dari Islam, bahkan tidak diragukan lagi bersumber dari tanah suci [Makkah]. Isinya banyak memuat tentang naskah magis populer dan ramalan-ramalan, yang juga dikenal sebagai primbon atau dalam versi yang lebih islami disebut kitab mujarobat, yang diperoleh langsung dari karya-karya penulis Muslim Afrika Utara abad ke-12-13, yakni Syeikh Ahmad al-Buni.  

Beberapa kepercayaan dan praktek lokal telah menjadi bagian kompleksitas budaya global. Banyak umat Islam kontemporer Indonesia enggan menyebutnya Islami karena mereka menentang konsepsi Islam modern [universal]. Namun demikian, lanjut Martin, dalam beberapa kasus, meraka masuk ke Indonesia sebagai bagian dari perluasan peradaban Islam, meski tidak menjadi tulang punggung agama Islam. Mereka merepresentasikan gerakan awal islamisasi, dan adalah keliru jika dikatakan bahwa islamisasi adalah gerakan sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses yang dimulai sejak abad ke-13 sampai 15 H.     

Akomodasi, Adaptasi dan Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal
Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.

Oleh karenanya, kondisi kehidupan keagamaan kaum muslimin pada saat ini tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam di Indonesia sejak beberapa abad sebelumnya. Ketika Islam masuk di Indonesia, kebudayaan nusantara telah dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, selain masih kuatnya berbagai kepercayaan tradisional, seperti animisme, dinamisme, dan sebagainya.  Kebudayaan Islam akhirnya menjadi tradisi kecil di tengah-tengah Hinduisme dan Budhisme yang juga menjadi tradisi kecil. Tradisi-tradisi kecil inilah yang kemudian saling mempengaruhi dan mempertahankan eksistensinya.

Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarak-jarak kultural.

Proses komporomi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu.

Proses islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada dasarnya berada dalam proses akulturasi. Seperti telah diketahui bahwa Islam disebarkan ke Nusantara sebagai kaedah normatif di samping aspek seni budaya. Sementara itu, masyarakat dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan adalah sebuah alam empiris. Dalam konteks ini, sebagai makhluk berakal, manusia pada dasarnya beragama dan dengan akalnya pula mereka paling mengetahui dunianya sendiri. Pada alur logika inilah manusia, melalui perilaku budayanya senantiasa meningkatkan aktualisasi diri. Karena itu, dalam setiap akulturasi budaya, manusia membentuk, memanfaatkan , mengubah hal-hal paling sesuai dengan kebutuhannya.  

Dari paradigma inilah, masih dalam kerangka akulturasi, lahir apa yang kemudian apa yang dikenal sebagai local genius. Di sini  local genius  bisa diartikan sebgai kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.

Pada sisi lain, secara implisit local genius dapat dirinci karakteristiknya, yakni: mampu bertahan terhadap dunia luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur dunia luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.  

Wacana Islam Wetu Telu dalam hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam pribumi atau Islam kultural, yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam dalam manifestasi kehidupan. Penghargaan ini dapat dipahami jika memandang kebudayaan sebagai sumber nilai yang dimaknai dengan tindakan konkret di ruang sosial. Sebagai sumber bagi tindakan, nilai-nilai dalam tradisi atau agama bukanlah nilai yang murni, namun selalu diuji dalam kemampuannya menghadapi persoalan kehidupan. Dalam pengujian itu nilai-nilai tradisi dan agama dapat terus berubah, dinamis, dan bersifat sementara.

Selalu ada hubungan timbal balik antara subjek pelaku dengan struktur objektif atau kebudayaan [sebagai seluruh pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk simbolik]. Dalam hubungannya dengan pelaku ini, simbol-simbol agama atau tradisi ditentukan oleh kesediaan pelaku dalam mempergunakannya dan bagaimana si pelaku mempergunakannya bergantung pada kepentingan dirinya dalam ruang dan waktu. Si pelaku selalu memiliki pilihan untuk mempergunakan satu simbol di antara simbol-simbol yang lain secara pragmatis. Dengan cara ini keberbedaan antara nilai tradisi dan agama dapat dikawinkan atau dikomunikasikan karena perpisahan antara keduanya akan menghasilkan kontraproduktif bagi keduanya.

Islam Wetu Telu  dapat dipahami jika secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan elaborasi ini,  maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru.  

Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-’Adah Muhakkamah. Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu [zamân wa makân; time and space] sesuai dengan kaidah Taghayyur al-Ahkâm bi at-Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwâl.    

Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Wallâh A’lam bi al-Shawâb.
_____________
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. email: harfin72@yahoo.co.id. Phone: 0817897845 & 08159630598
Alamat: Komplek Ciputat Baru Jl. Seruni Blok C No.14 Sawah Lama Ciputat Tangerang Selatan
Makalah disampaikan dalam diskusi malam Jum’at di PSPP Ciputat, 26 Mei 2011

DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdullah, Idrus, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di Kabupaten Lombok Barat, Program Pasca Sarjana UI, 2000.
  2. Abdullah, Taufik, Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indoensia, [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987]
  3. Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, [Jakarta: Logos, 2001]
  4. Amin, Ahmad, et all, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, [Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997]
  5. Ball, J. Van, Pesta Alip di Bayan, [Jakarta: Bhratara, 1976]
  6. Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, [Desantara, 2002]
  7. Bizawie, Zainul Milal, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam”, dalam Tashwirul Afkar,
  8. Bruinessen, Martin van, “Global and Local in Indonesian Islam” dalam Southeast Asian Studies [Kyoto] vol. 37, No. 2, 1999.
  9. Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, [Yogyakarta: LkiS, 2000]
  10. Hilmi, Masdar, Problem Metodologis dalam Kajian Islam Membangun Paradigma Penelitian Keagamaan yang Komprehensif, dalam  www.yahoo.com.
  11. Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam & Hukum Adat,[INIS, 1998]
  12. Maula, M. Jadul, “Syariat [Kebudayaan] Islam: Lokalitas dan Universalitas”, [Yogyakarta: LkiS, 2002]
  13. Poespowardojo, Soerjanto, “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, [Jakarta: Pustaka Jaya, 1986]
  14. Schwarz, Adam, A Nation in Waiting in 1900s, [Australia:Allen & Unwin  Ltd., 1994]
  15. Sriyaningsih dan Rosidi, M., Wujud, Arti, dan fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di NTB, [Depdikbud, 1996]
  16. Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th ], juz II.
  17. Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, [Jakarta: Desantara, 2001]


.

PALING DIMINATI

Back To Top