Bismillahirrohmaanirrohiim

Mitos-mitos Seputar Abd al-Qadir al-Jilani: Kritik Irasionalitas dalam Tradisi NU

Oleh Gus Irwan Masduqi, LC
 
Kaum Nahdhiyyin sangat mengkultuskan Abd al-Qadir al-Jilani. Mereka juga yakin akan kekramatan al-Jilani. Tulisan ini akan mengkaji kekramatan-kekramatan itu dalam rangka rasionalisasi tradisi NU. Kesarjanaan Islam ortodoks pada era skolastik sejujurnya telah meninggalkan warisan tradisi intelektual yang berharga berupa puluhan karya tulis yang mengupas biografi ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Untuk sekadar menyebut, misalnya, Buhjah al-Asrar wa Ma’dan al-Anwar karya Syathnufi, Qalaid al-Jawahir fi Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya al-Tadifi, Syamsy al-Mafakhir karya Muhammad bin Muhammad al-Bahsyi al-Halbi, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Abu As’ad al-Yafi’i, ‘Aqd Jawahir al-Ma’ani fi Manaqib al-Syaikh al-Jilani karya Syaikh Ahmad bin Abd al-Qadir, Tuhfah al-Abrar wa Lawami’ al-Anwar fi Manaqib al-Sayid Abd al-Qadir wa Dhuriyatihi al-Akabir karya ‘Ala al-Din al-Jilani, Nazhah al-Khathir al-Fatir fi Tarjamah Sayidi ‘Abd al-Qadir karya Mulla Ali Bih Sulthan, Bustan al-Ashahir wa al-Akabir fi Tarjamah Sayid ‘Abd al-Qadir karya Abd al-Hayi al-Qadiri, Riyadh al-Basatin fi Akhbar al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Muhammad Amin bin Ahmad al-Kaylani, al-Janyu al-Dani fi Nubdzah min Manaqib al-Quthb ‘Abd al-Qadir al-Jilani karya Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Anwar al-Nadhir fi Ma’rifati Akhbari al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karya Abu Bakar Abdullah bin Nashr Hamzah al-Bakri al-Shidiqi, al-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujayn al-Dani fi Dzikr Nubdzah min Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani karya Abi Lathif al-Hakim Mushlih bin ‘Abd al-Rahman al-Muraqi, dan lain-lain.
 
Namun, sayangnya, puluhan karya-karya tersebut secara umum ditulis atas dasar pengkultusan yang relatif berlebihan terhadap sosok wali yang dikramatkan itu. Karya-karya tersebut juga dipenuhi berjibun mitos-mitos yang dianggap sebagai tanda kekramatan ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Karya-karya tersebut sebenarnya merupakan data-data antropologis yang cukup penting. Namun, dalam konteks kajian kritis terhadap biografi al-Jilani, data-data yang sarat mitos tersebut akan penulis kaji dengan kaca mata kritis.
 
Pendekatan mitis yang berpotensi menciptakan sikap-sikap pengkultuasan wali harus dihindari. Namun hal itu bukan berarti bahwa penulis menafikan secara keseluruhan peran mitos dalam membentuk dan menggerakan dinamika sosial. Dalam perspektif antropologi aplikatif, mitos tidak senantiasa dinilai sebagai hal negatif. Mitos, di mata para antropolog, terkadang punya dampak positif dalam mentransformasikan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Satu contoh dalam kaitannya dengan mitos-mitos kekramatan ‘Abd al-Qadir al-Jilani, misalnya, diriwayatkan bahwa beliau memiliki kekuatan supra-natural meremas-remas kepingan uang dirham hadiah dari penguasa yang korup hingga kepingan tersebut hancur. Nah, dari perspektif antropologi aplikatif, narasi mitis ini tidak ditelan mentah-mentah secara apa adanya. Antropologi aplikatif tidak hendak menverifikasi atau menfalsifikasi apakah mitos tersebut benar atau salah. Antropologi aplikatif lebih menekankan bahwa mitos tersebut bernilai positif karena memiliki peran membentuk masyarakat anti korupsi.
 
Dengan demikian, penolakan penulis terhadap mitos hanya terbatas pada mitos-mitos kekramatan yang disetting dan diproyeksikan oleh para pengikut fanatik ‘Abd al-Qadir al-Jilani sebagai media pengkultusan, seperti mitos bahwa ‘Abd al-Qadir al-Jilani mampu menghidupkan ayam mati. Setelah dihidupkan, ayam tersebut berkokok dengan suara “la ilaha illallah Muhammad Rasulullah al-Syaikh ‘Abd al-Qadir waliyullah” (Tidak ada tuhan selain Allah. Muhammad utusan Allah. Syaikh ‘Abd al-Qadir kekasih Allah). Mitos-mitos yang murni sakralisasi dan pengkultusan seperti ini harus ditolak demi keselamatan akidah tauhid. Tetapi penulis akan mengapresiasi mitos-mitos yang bermanfaat membangun dinamika sosial ke arah yang lebih baik.
 
‘Abd al-Qadir al-Jilani dilahirkan pada tahun 470 H/1077 M di daerah Jilan, Iran, dan wafat pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Bab al-Azaj, Baghdad. Al-Jilani hidup di tengah-tengah kondisi sosial yang mengalami krisis dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam percaturan politik, al-Jilani menyaksikan sistem pemerintahan teokratis yang penguasanya tak segan-segan mempolitisasi agama demi memenuhi ambisi merebut dukungan dan simpati. Pemegang otoritas kekuasaan juga dengan semena-mena membebani masyarakat dengan pajak yang mencekik kaum miskin. Bahkan, saat tiba di Baghdad untuk pertamakalinya, tepatnya pada tahun 488 H, al-Jilani melihat kelaliman Abd al-Malik, menteri Khalifah al-Mustadzhir, yang melegalkan tempat-tempat maksiat. Pada saat itu, al-Jilani mungkin merasakan keprihatinan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh kaum Marxis belakangan, seperti Antonio Gramsci. Ia menyadari bahwa agama merupakan sumber nilai kultural yang berpotensi dibajak oleh kelompok tertentu guna melegitimasi ragam kepentingan. Agama dapat diselewengkan dan menjadi ‘candu masyarakat’, kata Karl Marx.
 
Dalam ranah keagamaan, al-Jilani hidup di tengah-tengah masyarakat yang kehilangan dimensi spiritual. Agama hanya tinggal formalitas belaka yang miskin esensi. Banyak masyarakat yang mendengar khutbah-khutbah keagamaan di masjid-masjid, namun, setelah usai melakukan aktivitas ritual, mereka kembali melakukan kebohongan dan korupsi. Ritual shalat masih didirikan, tapi tak dapat membendung masyarakat dari perbuatan mungkar. Puasa juga masih dikerjakan, namun tak dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kepekaan sosial. Pada saat bersamaan, tidak sedikit ulama yang kehilangan kharismanya di mata masyarakat, sehingga wejangan keagamaan mereka hanya beda tipis dengan banyolan Abu Nawas. Kondisi ini disebut oleh para penulis biografi al-Jilani sebagai penyebab utama kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh al-Jilani. Tetapi di sisi lain, kondisi sosio-kultural inilah yang justru menjadi pelecut baginya untuk membangun misi dan visi dakwah yang berorientasi ke masa depan yang lebih bermoral.
 
Berkat peran sosial-keagamaannya, al-Jilani mendapatkan popularitas di Baghdad. Ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Namun sayangnya para penulis Manaqib mengilustrasikan popularitas itu secara berlebihan dan penuh mitos. Konon popularitas al-Jilani seperti popularitas matahari. Ilustrasi seperti ini adalah lebay dan hiperbola yang bertujuan mensakralkan. Popularitas itu konon didapat ketika suatu hari ‘Abd al-Qadir al-Jilani berkumpul bersama seratus fuqaha Baghdad. Para fuqaha kemudian mengumpulkan sejumlah masalah-masalah hukum dan ditanyakan kepada ‘Abd al-Qadir al-Jilani untuk menguji kemampuan ilmunya. Lalu muncul cahaya terang dari dada al-Jilani. Cahaya itu berjalan melewati dada-dada para fuqaha dan membasuh kotoran-kotoran yang ada di hati fuqaha. Spontan fuqaha tercengang, berteriak, menyobek-nyobek pakaian mereka, dan melepas surban di kepala mereka. Kemudian ‘Abd al-Qadir al-Jilani duduk di kursi dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan fuqaha. Pada saat itulah fuqaha mengakui ilmu al-Jilani dan tunduk padanya.
 
Narasi hiperbola ini sangat terkesan tidak masuk akal, meskipun di sisi lain kita dapat mempercayai keilmuan al-Jilani dengan bukti pemikiran-pemikirannya yang genial dalam karya-karyanya. Pesan yang ingin disampaikan oleh narasi ini adalah tingginya keilmuan al-Jilani. Namun sayangnya keilmuan itu diceritakan dengan nuansa pengkultusan yang berlebihan.
 
Manaqib juga menceritakan bahwa al-Jilani adalah pembela rakyat jelata dan orang-orang yang tertindas. Al-Jilani tidak mau berdiri menghormati orang-orang kaya atau penguasa dan tidak mau menerima hadiah dari khalifah. Suatu hari khalifah datang membawa hadiah buah apel tetapi spontan apel itu mengeluarkan darah. Dari cerita ini dapat diambil pesan positif bahwa al-Jilani sangat peduli dengan kaum proletar, tidak rakus dengan harta kaum borjuis, dan menolak pemberian penguasa yang korup. Khalifah yang korup itu pun akhirnya mau bertaubat di depan al-Jilani dan menjadi muridnya hingga ia meninggal dunia. Namun dalam narasi tersebut terdapat mitos yang negatif bahwa buah apel bisa mengeluarkan darah. Mitos ini murni buatan pengikut fanatik al-Jilani yang bertujuan mengkultuskannya.
 
Mitos yang hiperbola ini disebut oleh Ibn Khaldun, sosiolog Muslim, dengan istilah al-maghalith (kesalahan-kesalahan). Thaha Husain menyebutnya dengan nataj al-khayal (produk khayalan). Deskripsi hiperbola muncul disebabkan dua unsur: unsur manusia dan unsur bahasa. Manusia dalam menceritakan sebuah informasi biasanya memiliki dua tujuan; tujuan menyampaikan informasi dan tujuan mempengaruhi pendengar. Tujuan murni menyampaikan informasi lebih condong pada cara-cara agar dapat dipercaya. Sedangkan tujuan mempengaruhi membutuhkan metode-metode untuk mencapai tujuannya, seperti berbohong, menambahkan muatan berita, lebay, dan hiperbola.
 
Qadamah ibn Ja’far (w. 326 H) mendefinisikan hiperbola dengan istilah al-ghulwu, yakni berlebihan dalam mendeskripsikan sebuah objek hingga kadang keluar dari karakter aslinya dan tidak alami. Menurut Tzvetan Torodov, dalam Introduction a la litterature fantastique, menyatakan bahwa hiperbola dalam menceritakan sesuatu memiliki tujuan agar beritanya terkesan fantastik.
 
Lalu apa pendapat al-Jilani tentang kekramatan? Karamah menurut al-Jilani adalah “akibat pantulan cahaya Allah pada hati seorang sufi yang menjadi kekasih-Nya. Cahaya itu muncul dari cahaya universal ilahi”. Dengan cahaya ilahi, seorang wali dapat memiliki kekramatan di luar kebiasaan. Menurut al-Jilani, orang-orang yang memiliki kekramatan luar biasa adalah para wali yang mendirikan ibadah saat orang lain tidur, puasa saat orang lain makan, dan wali senantiasa melakukan hal-hal yang luar biasa dalam mendekatkan diri pada Allah sehingga kebiasaan tidak berlaku baginya. Kekramatan yang di luar kebiasaan manusia dalam beribadah ini harus dirahasiakan oleh para wali. Dari keterangan al-Jilani ini menjadi jelas bahwa kekramatan seorang wali terletak pada cara ibadahnya yang luar biasa, bukan pada kekuatan supra naturalnya yang penuh mitos.
 
Lalu bagaimana sikap ilmiah dalam menyikapi mitos irasional tersebut? Mengingkari mitos-mitos yang diyakini sebagai karamah atau kekramatan al-Jilani adalah langkah hati-hati agar umat Islam tidak terjebak dalam takhayul. Selain itu, mengingkari karamah tidak dapat mengakibatkan umat Islam murtad. Benar bahwa al-Ghazali, al-Qusyayri, dan beberapa sufi Sunni tidak menutup kemungkinan adanya kekuatan di luar kebiasaan yang dimiliki oleh para wali atas izin Allah. Namun menurut Ibn Rusyd, mempercayai perkara di luar kebiasaan yang menyalahi hukum kausalitas hanya akan mengakibatkan umat Islam terjebak dalam irasionalitas. Tidak hanya mengingkari kekramatan para wali yang di luar kebiasaan, Ibn Rusyd juga mengingkari mukjizat-mukjizat di luar kebiasaan Nabi.
 
Ibn Rusyd meyakini bahwa satu-satunya mukjizat Nabi hanyalah al-Quran. Orang-orang Quraisy sering menantang Nabi agar mendatangkan mukjizat supra natural, namun ayat al-Quran turun menjelaskan bahwa Muhammad saw. hanya manusia biasa yang tidak mampu mendatangkan hal-hal yang supra natural (QS. Al-Isra’: 93). Al-Quran kemudian menegaskan apakah tidak cukup bagi mereka sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad saw berupa al-Quran yang di dalamnya terdapat kasih sayang dan pelajaran bagi kaum yang beriman? (QS. Al-Isra’: 51\).
 
Al-Baqilani menambahkan bahwa ada dua cara mengetahui mukjizat; mukjizat al-Quran dapat diketahui secara meyakinkan dan tidak mungkin dingkari (la yumkinu jahduhu), tetapi mukjizat seperti Nabi bisa menyulap makanan sedikit menjadi banyak, kayu bisa bertasbih, dan lain-lain adalah mukjizat yang bersifat teoretis (nadzary wa al-istidlaly). Konsekuensinya ia masih bisa diperdebatkan keberadaannya dan perdebatan seputar hal itu tidak menyebabkan murtad. Nah, jika ulama berani memperdebatkan kebenaran mukjizat supra natural Nabi, mengapa kita takut memperdebatkan kekramatan dan mitos-mitos Abd al-Qadir al-Jilani? Masihkah kita percaya pada mitos? Apa ruginya jika kita menolak mitos? Apakah hanya takut tidak mendapatkan barokah lantas kita harus meyakini mitos?
 
Penulis adalah murid tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah

Komentar :
-------------------------------
Musa الأزهر Wah, bagus Mas Irwan, ijin share njeh? :)
Baru saja · Suka
Abang Lihun makasih mas udah di tag. Kira2 karomah yang berbau kontemporer bisa diterjemahkan seperti apa...? Kalau pemikiran ada pembaharuan, kira2 perspektif karamah ada pembaharuannya juga enggak? setidaknya kalaupun ada secara burhani. Thank's sebelumnya...
Baru saja · Suka
Nora Burhanuddin Suka sekali tulisan ini. Tapi, bagian paling menarik kalimat terakhirnya: "Penulis adalah murid tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah". Seperti Ibnu Rusyd saja yang meski hidup di lingkungan Asy'ariyah, namun tak menghalanginya mengkritik bagunan argumen teologi Asy'ariyah yang dirasa lemah. Otokritik jenis seperti ini sudah saatnya lebih digalakkan di kalangan muda NU.
Baru saja · Suka
Mochammad Syamsoe Kadi waaaa pak yai kemarin dosenku juga sempet ngritik soal mitos yang ada di manaqib, salah satunya ya soal ayam itu....tp usulku mba yai klo ada stradara yang mau jadiin film bakal seru tu mba.....hehehe
Baru saja · Suka
Irwan Masduqi Musa الأزهر: monggo. Abang Lihun: visi anti korupsi dlm mitos al-jilani adlh salah satu contoh yg relevan untuk konteks kontemporer. al-Jilani anti Gayus. Nora Burhanuddin: semoga otokritik tdk dicap suul adab :D. Mochammad Syamsoe Kadi: klo ada ayam yg berkokoknya tahlil, wah bisa menang lomba he3. Peace.
Baru saja · Suka
Mizteriuze Viruz teringat kritiknya sayyid al-ghumari pada kisah sayid ahmad ar-rifai yg mencium tangan rasul disaksikan 70 ribu orang.....................................
Baru saja · Suka
Akhmad Saufan penulis adalah penggemar berat ac milan yang akan memenangkan derby 2 april ini.
Baru saja · Suka
Latif Malik Luar biasa mantab.. Semoga kita semua mampu menangkap rahasia risalah Kyai Irwan ini dengan sempurna. Saya yakin, dibalik yg tersurat, ada dawuh tersirat yang sebenarnya mengandung ma'arif haqoiqiyyah, yg luas, tajam dan dalam bagai samudra cahaya.
Karena, ketika kita berbicara -baca beriteraksi- dgn manusia memang harus menyesuaikan dgn latar belakang sosio-antropologi kaum kita. Nah, al qur'an dan segala varian mukjizat Nabi Agung Muhammad SAW yg lain telah dengan sempurna menunaikan tugasnya -dakwah kenabian- dengan paripurna. Selanjutnya, tugas dakwah ini diampu oleh para warotsahnya yaitu ulama-auliya Allah SWT.,yg dlm rangka tugas ekstra berat itu tentu membutuhkan penegasan kewilayahan/keulamaan atas diri yg bersangkutan. Penegasan kewilayahan (karomah) inilah yg tentu satu dgn yg lain berbeda bentuknya sesuai dgn kondisi medan tugas sosio-antropologis masyarakatnya.
Kyai Irwan, dan sahabat-sahabat para dai sehabitatnya, tentu perlu membahasakan karomah dgn bahasa logis, lugas dan genius semacam dawuh diatas. Menurut kami, dakwah model Kyai Irwan ibarat sosok al imam al faqih al abqory al shufi Ibu Rusyd yg dgn totalitas mampu mentransformasikan kemutlakan kebenaran agama islam kpd kaum rasionalist. Tentu, kitajuga memerlukan sosok al jilani-al jilani bari lengkap dgn segala bahasa dakwahnya yg fantastis, metaforis dan pastinya cenderung mistis, yg diperuntukkan kpd kaum awam-yg mengutip bahasa al qur'an adalah أراذلنا بادي الرأي
Yg anehnya justru kaum inilah sebagaimana disebut al qur'an adalah kaum yg paling banyak dan mudah beriman kpd absolusitas kebenaran Islam. Sementar kaum borjuis-intelektual pada tataran tertentu justru lebih dekat kpd kemunafikan.
Manusia memang tidak bisa menyingkap total rahasia taqdir Allah SWT kecuali para pilihanNYA, yaitu para Anbiya Allah dan Auliya Allah. Terimakasih Kyai Irwan atas pencerahan dan tag nya. Semoga saya digolongkan kpd para pecinta Allah atau paling tidak, pecinta para pecinta Allah SWT. Amin.
Wallahu A'lam bis showab.
Baru saja · Suka
Syaikhul Islam Ali Full Saya sepakat mas bhwa otokritik spt ini mmg sgt penting dan tdk ada hubungannya dg su'ul adab, sbb terlalu banyak hal taken for granted yg mungkin kesannya biasa namun sesungguhnya berlebihan dan kontra produktif, misalnya spt keramat2 wali itu. Guru kami Sayyid Abdullah al-Ghumari prnah mnls sbuah ktb yg jdlny "Auliya' wal Karamat" yg mengkriti habis2an keramat wali2 agung yg lazim disebut qutub spt al-Rifa'ie dan al-Badawi dll, saya tdk ingat betul apakah dst jg disinggung ttg al-Jilani(mngkn makalh ini bs menyempurnakannya). Tp yg pasti secara umum kItab itu menyebut bahwa ADA TERLALU BANYAK KERAMAT WALI2 YG IRASIONAL, KONTRA-PRODUKTIF BAHKAN 'BOHONG' dipercaya sebagai kebenaran secara turun-temurun, sementara ada banyak keramat yg lbh masuk akal dan inspiratif dari para Auliya' yg dikesampingkan. Saya ingat dlm ktb itu al-Ghumari menulis kutipan menarik " Seandainya mereka semua menjadi musuhku kelak, maka itu akan lebih mudah bagiku daripada aku menjadi musuh Rasulullah". Seolah ia tdk gentar sdkt pun dg konsekuensi dari kritiknya tsb. Ikuti semangat al-Ghumari mas! masa pejantan Jogja takut dibilang su'ul adab hehehe. thanks for tagging
Baru saja · Suka · Foto2
Najwa Aisyah Anda menganggap itu "mitos" kan karena kaca mata yg Anda gunakan adalah akal. Anda menilai dunia ini secara hitam putih; kalau tidak rasional berarti irasional. Yang pertama Anda unggulkan, sementara yang kedua Anda tekan. Dan, dalam hal ini, Anda seperti etnolog Barat yang pergi ke tempat2 pedalaman di negara2 "dunia ketiga", kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan "pandangan dunia" mereka. Padahal, setiap budaya memiliki keunggulan dan kekurangan masing2. Juga tidak bisa dinilai dengan menggunakan kacamata kebudayaan lain. Terimakasih, tulisan Anda merangsang sy untuk terus membacanya berulang2 :))
Baru saja · Suka
Hasan Silver Keramat spt dlm Kutubul Manaqib bila disimpulkan ada dua macam:
1. Keramat Hakiki
2. Keramat Majazi
KERAMAT HAKIKI adl anugerah berupa bs istiqomah dlm ber'ibadah (al Istiqomah khoirun min alfi karomah). Bisa continue solat tepat waktu, puasa dll yg dilakukan dg kesungguhan, khudlu' serta khusu' inilah yg dimaksud karomah hakiki.

KAROMAH MAJAZI: Adl anugerah yg diberikan kpd hamba yg istiqomah dlm ber'badah kpd-NYA. Spt: berjalan diatas air, terbang, melipat bumi, ngidupin ayam mati dsb. Yg demikian adl hal yg bisa saja terjadi karena ini adl wilayah mumkinat yg merupakan ta'alluq dr sifat Ja-iznya Alloh.
Gak usah jauh2 ke Syaikh Abdul Qodir, KH. Mahrus Ali generasi kedua Pengasuh PP. Lirboya dlm biografinya pernah kecebur ke Bengawan Solo bersama2 mobil beliau. Begitu keluar pakaiannya sama sekali tdk basah dan dr tengah bengawan jaln ke pinggir (jalan diatas air). Ini disaksikan oleh banyak org, bahkan sempat masuk koran pd wkt tsb. Nah percaya kejadian2 aneh yg mungkin bin ajaib smcm ini saya kira bukan sebuah mitos. Demikian pula cerita menghidupkannya Syaikh 'Abd Qodir thdp ayam yg sdh beliau makan..

Wabiljumlah. Tdk mustahil bg Alloh utk menciptakan dan sekaligus menghadiahkan anugerah2/keramat kpd hamba kinasihnya..

Dan yg asik dicermati dlm kehidupan para Auliya-illah, sikapnya dlm ber'ibadah, ketekunannya adl luarbiasa istiqomahnya dan murni taqorruban ilalloh tdk ada unsur li-ajlinnas sama sekali. Ini yg perlu diikuti dan disuri tauladani..

Sekian. :-)
Baru saja · Suka
Husein Muhammad Bagaimana ya kira-kira Gus Dur menanggapi tulisan anak muda NU yang pinter ini?.
Baru saja · Suka
Zainal Fanani @Mas Irwan:saya kurang sepakat kalau penolakan mukjizat--selain Al Qur'an--,karomah,& hal-hal luar biasa lainya hanya dengan tolak ukur rasional & irasional.bahkan seorang orientalis seperti William Johns pun pernah sampai pada suatu kesimpulan, Kekuatan yg telah menciptakan alam semesta ini tidak pernah kesulitan untk membuang atau menambahkan sesuatu kepadanya.Adalah mudah untk dikatakan bahwa masalah ini tdk dapat d gambarkan oleh akal.Tetapi yang harus dikatakan adalah bahwa masalah ini tidak "tergambarkan",bukan "tidak dapat d gambarkan" sampai ketingkat adanya alam.ini sebagian pengakuan dr orientalis.pertanyaanya,mengapa kita sebagai muslim justru sibuk ria mengingkari adanya hal itu???
Baru saja · Suka
Aprina Levy Wulandari Rupanya kata lebay pun sudah masuk kedalam tulisan seperti ini. Hehehe, kapan-kapan aku di tag dung ka, biar bisa ikutan belajar.
Baru saja · Suka
Muhammad Al Barra Makalah yg bagus mas, saya sepakat memang harus ada tradisi mengkeritik dan meluruskan mitos2 yg terlalu akut dan berlebihan pada masyarkat, karna hal tersebut akan membahayakan bagi orang yg awam dan menerima secara mentah2 hal tersebut.
Baru saja · Suka
Muhammad Al Barra meneruskan koment saya yg diatas, ada hal yg saya kira kurang sependapat dgn sampean mengenai karomah auliya atau muajizat al-anbiya, dalam kitabnya Syekh Mahmud Al-ghorbawi yg berjudul " karomatul auliya" beliau mengutip pendapatnya Imam haromain al-juwayni " khoriqul al-adat sejatinya bukanlah hal yg terdapat pada kehendak manusia, melainkan kenhendak dari Allah dan Muajizat tidak di tunjukkan dengan sendirinya melainkan keberadaanya untuk mengokohkan dakwah kenabian". Muajizat juga berbading lurus dengan karomah perbedaannya hanya pada kegunaan, jika Muajizat untuk menentang musuh2 nabi. Karna KAROMAH sifatnya "samar" saya kira kurang etis jika menafikan secara keseluruhan dan sebagian masyarakat pun pernah secara langsung menyaksikan hal tersebut. lebih bijaknya jika keritik dan pelurusan tersebut diperuntukkan pada hal2 yg berlebihan dan lebay yg hanya memberikan efek negatif..... terimakasih.........!
Baru saja · Suka · Foto1
Noe Sang Pembidas mantap bib.. lekas digelar ngaji ramadhanan tahun ini ttg manaqib di Mlangi, bib.. biar qt2 pada melek makna gandhulnya, murod leterlijk, sampe ke analisa daqiq lan hukum sakbanjure, byuurrr... Kulo ndere`aken... :D
Baru saja · Suka
Muqoffa Mahyuddin gus irwan.... Mengambil tariqotnya dari jalur cirebon ..demak..atau jombang...yang paling menarik bagi saya adalah...perkataan saqj siapa yang melewati madrasahku akan terselamatkan.....rupanya bagi kaum sufi tidak mengenal relatifisme ilmu pengetahuan....
Baru saja · Suka
Muqoffa Mahyuddin gus irwan.... Mengambil tariqotnya dari jalur cirebon ..demak..atau jombang...yang paling menarik bagi saya adalah...perkataan saqj siapa yang melewati madrasahku akan terselamatkan.....rupanya bagi kaum sufi tidak mengenal relatifisme ilmu pengetahuan....
Baru saja · Suka
Latif Malik Saya kira tulisan ini tidak sedang mengingkari karomah/mukjizat. Tetapi bagi yg -karena alasan rasionalitas- lalu mengingkarinya,maka biar sah -sahabat-sahabat yang mengingkari karomah dan atau mukjizat- disebut sebagai rasionalis mestinya anda harus menyelam dlm kedalaman sufism dulu.. Tidak akan tahu kelezatan makan kecuali bagi yg pernah kelaparan.
Baru saja · Suka
Alif Jum'an Azend Tulisan yang membangkitkan nalar berpikir yang logis referensif kaum santri dan bahkan salafi/wahabi... namun tidak membuat sakit penganut thariqah... @Pak Husein : Gusdur di alam kubur pasti bersyukur ada penerusnya, kalau tidak mau dikatakan sebagai salah satu titisannya...
Baru saja · Suka · Hapus
Muhammad Hadanalloh الكرامة بخدمة الخالق لا بإظهار الخوارق
Baru saja · Suka
Irwan Masduqi Syaikhul Islam Ali Full & Mizteriuze Viruz: nanti pandangan al-ghumari akan ak akomodir sbg data komparasi. makasih masukannya. Akhmad Saufan: sepakbola bukan mitos tho? he2. Gus Latif Malik: beberapa kali saya curhat ke mursyid tarekat. Ternyata mursyid yg saya tanyai itu mengkritik isi kitab al-Nur al-Burhani. Baginya, Nur al-Burhani ada benarnya dan ada yg tdk benar. Tp di kalangan awam, mitos2 itu bisa jd akidah. Oleh sbb itu perlu diantisipasi dgn pemaknaan karomah scr logis. Hasan Silver: saya msh percaya karomah jika isinya positif. Zainal Fanani: silahkan kritik tulisan ini jika sampean tdk setuju. saya hanya menolak karomah yg mitos dan yg negatif kontennya. Husein Muhammad: mungkin Gus Dur akan dawuh "gitu aja kok repot". atau Islamku, Islam Anda, Islam Kita itu beda2 krn religious experience yg beda2. Aprina Levy Wulandari: iya ntar ditag. lebay is good term to describe this issue. Muhammad Al Barra: makasih kritik dan masukannya gus. Noe Sang Pembidas: insya Allah pak kyai. manaqiban selama ini lebih dijadikan ritus sewelasan dlm haul2 al-jilani daripada dikaji scr ilmiah. Muqoffa Mahyuddin: silsilah tarekat yg saya ikuti dr syaikh akhmad khatib sambas--abd al-karim banten--kyai ilham solo--kyai masduqi--kh. syujai masduqi. Alif Jum'an Azend: ke depan, manaqiban dan sewelasan mudah2an lebih baik dlm memahami manaqib. Muhammad Hadanalloh: leres pak kyai.
Baru saja · Suka
Muqoffa Mahyuddin jadi dari banten....kalau saya dari suryalaya.. Cirebon... Sambas...untuk zaman sekarang tradisi pendidikan di toriqoh...perlu ditambah tradisi diskusi dan menulis dalam perkembangan tasawuf kontemporer..
Baru saja · Suka
Hasnan Bachtiar Mitos dalam pengertian di sini bukan mitos dalam khazanah filsafat, tetapi mitos adalah mitis dalam bahasa Indonesia. Dialog seputar mitos di sini (setelah tulisan), lebih kepada nilai benar salah (aksiologis) mitologisasi pemikiran Jilani. Saya mengambil pesan dari penulis bahwa, pertama, mitologisasi dan Jilanisme ortodok menjadi semacam taklid yang tidak memberikan efek pada perubahan sosial. Kedua, mitos-transformatif Jilani hendaknya diambil sebagai nilai dan etos perubahan. Ketiga, penulis (hingga kesimpulan tulisan ini) menekankan pada kritisisme prosesi mitologisasi Jilanisme ortodok, dengan demikian perolehan Jilanisme bukan berupa kebebalan pikir, tapi sikap kritis-spiritualis terhadap realitas dan manifes praksis gerakan sosial. Tulisan ini mendalam, sama dengan bunuh diri dan membunuh umat sendiri kalau tidak membangkitkan gairah kritisisme terhadap mitos-mitis.
Baru saja · Suka
Sekang Baplang waduh pitakonanku hanya dilewatin aja, tak ulang gus... trus bagaimana meluruskan tradisi pembacaan manaqib SYAIQOJI? apa perlu kalimat yang mengandung mitos irasionalitas dilewatin aja ? to bagaimana?.
nambah gus.... mitos menjadi akidah sebagaimana yang panjenengan khawatirkan agaknya terlalu berlebihan. Adakah Warga Nahdliyin yang membaca manaqib, meyakini kemaha Esaan SYAIQOJI?
jika tolak ukur kebenaran beragama hanya dilihat dari kacamata rasional ato irasional, terus bagaimana dengan kasus-kasus agama yang sifatnya ta'abbudi, bagi saya ta'abbudi sendiri bukanlah meninggalkan yang irasional ke rasional, tapi disana ada transirasionalitas.
Sementara itu, Anggapan kultus wali dan sakralisasi penggambaran yang lebay dan hiperbola adalah terlalu mengada-ngada, bagi saya itu manusiawi gus, ibarat kata “man ahabba syaiaan katsuro dzikruhu” wong demen ora sepi pengalem, melukiskan betapa sang muallif begitu bronto sama sosok SYAIQOJI.
Jika njenengan bertanya Masihkah kita percaya pada mitos? Jawabnya, masih… sepanjang tidak mengalihkan orang menyembah pada yang selain Allah secara ritual badani. Apa ruginya jika kita menolak mitos? Jawabnya wow sangat rugi sekali, betapa Kuburan tidak menjadi teduh lagi untuk kita ziarahi, akibat pembalakan liar wit ringin yang sudah tak wibawa ditinggal pergi mitos siunge genderuwo yang mbau rekso.
Mitos dalam Manaqib SYAIQOJI agaknya perlu dibahas secara tuntas gamblang. Tidak mengambang, tidak mengembang, bikin hati ini menjadi bimbang. Kesimpulan pun harus yang jami mani’ jangan malah terkesan sekedar inzalul mani.
sebagai penutup mungkin njenegan nate mireng dawuhipun ibnu Arabi "Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.
Baru saja · Suka


.

PALING DIMINATI

Back To Top